(JANGAN) MENGAJI
Note: Harap pembaca berpikir
terbuka akan cerita ini. Karena mohon maaf tidak bermaksud untuk menyindir
pihak mana pun.
“Neng,
gak usah pakai jilbab panjang dan mengaji terlalu banyak! Apa lagi pakai
pakaian panjang hitam. Nanti kamu bisa menjadi seperti orang-orang yang di
televisi” ujar ibuku dengan nada cukup serius, tatkala kami sedang menonton
berita di salah satu stasiun televisi sore hari itu. Aku berpura-pura
memperhatikan televisi dengan serius dan mengiyakan nasihat ibuku, seraya
mengangguk-anggukan kepala.
“Neng!
Dengerin gak ibu ngomong?” tegur ibu.
“Iya,
Bu..” jawabku malas.
“Pokoknya
kamu tidak boleh banyak ikut-ikutan acara rohis atau lembaga-lembaga apalah itu
di kampus! Banyak aliran sesat di sana,
neng” omel ibu.
“Setiap
malam minggu kita hanya membaca Al-Quran bersama dan membahas sejarah Nabi saw,
serta --- belum selesai aku menjelaskan ibu
sudah menukas, “Sudah ibu bilang kan! Jangan terlalu banyak mengaji dan
ikut-ikut kegiatan keagamaan seperti itu, awas nanti kalau kamu sampai
ikut-ikutan aliran sesat seperti ISIS.”
Entah
mengapa rasanya bosan ketika berulang kali dinasehati seperti ini. Ini sudah
keberapa kalinya semenjak aku bergabung dengan majelis dan lembaga dakwah
kampus. Ibu selalu memberikan statmen dan pandangan buruk terhadap kegiatan yang
sedang ku ikuti. Berbagai alasan seperti
Aliran sesat, seperti teroris lah, awa-awal memang baik memberi beasiswa tapi
nanti otak kita dicuci dan menjadi pengikut mereka lah.”
Tak
hanya Ibu bahkan bapak pun menaruh curiga terhadap ku dan terhadap kegiatan
yang sedang aku ikuti. Sesekali ia bertanya tak seperti ibu, bapak bertanya
lebih kepada logika dan mengandalkan kepercayaanku.
“Kamu
ini sebenarnya ikut kegiatan apa sih? Suka pulang malam” tanya bapak berjalan
mendekatiku.
“Aku
ikut kajian kampus pak, setiap habis pulang kuliah aku menyempatkan untuk duduk
di masjid kampus dan itu biasanya selesai jam 7-an. Makanya sampai rumah hingga
larut malam.”
“Bener?,
bapak Cuma pesen aja sama kamu.. sekrang kamu udah bisa mikir mana yang bagus
kamu ambil mana yang ngga. Kalau seandainya ada keganjalan dikegiatan yang kamu
ikuti. Kamu harus keluar!”
“Iya,
pak.. aku juga tahu.. tapi apa bapak sama ibu gak senang lihat perubahan yang sudah
aku alami ini?, Bapak dan Ibu bisa lihat aku kan sudah tak pernah memakai
pakaian pendek seperti sebelumnya? Bapak dan Ibu tau kan? Ini semua demi
kalian, aku Cuma gak mau Pak, ketika aku keluar rumah lalu aku meninggal tanpa sehelai
pun hijab tanpa bekal agama dan ilmu agama yang tak aku punya lalu aku
diakhirat tersiksa karena dosa. Lalu aku sadar kehidupan dunia ini tak akan
selamanya pak, bu. Aku hanya ingin menuntut ilmu agama apa tidak boleh?”
“Kalau
kamu mau menuntut ilmu agama dari dulu sudah bapak masukan kamu ke pesantren..
Bapak sebenarnya senang lihat perubahan kamu. Namun, bapak pun khwatair nak.
Khawatir seorang bapak terhadap putri semata wayangnya. Bapak sebenarnya tak
melarang kamu untuk mengikuti kegiatan tersebut, bapak hanya khawatir kamu ikut
ajaran sesat.” Jawab Bapak ketus.
“Lalu,
kenapa tak dari dulu saja pak?! Menurutuku menuntut ilmu agama itu dari usia
berapapun asal ia menyadari akan pentingnya Agama, Pak.. doakan aku semoga hal
seperti itu tak akan terjadi. Bapak dan Ibu tak usah terlalu menghawatirkan
perubahaan ku dan sungguh mereka semua itu teman yang baik Pak,Bu percayalah...”
Dengan
penuh harap dan berdoa dalam hati semoga mereka berdua mengerti dan mengetahui
bahwa ini semua demi kebaikan mereka. Setelah beberapa menit berpikir Bapak pun
mengangguk pelan namun, sorot matanya tetap terlihat khwatair memperhatikanku. Lalu
Ibu hanya berlalu pergi ke kamar dan memilih tak ingin mengambil pusing. Tapi
ku yakin seiring berjalannya waktu Ibu pun akan mengerti dan memahami dari
semua perubahan ku ini.
Ada
rasa senang dan bahagia sudah mendapatkan kepercayaan dari Bapak, hanya saja
Ibu masih bersikap kaku padaku, Ia tampak tak berantusias ketika aku pamit
untuk kuliah beliau selalu menitip pesan untuk tidak pulang malam yang secara
tidak langsung mengatakan bahwa “Pulang kuliah pulang, gausah ikut
kajian-kajian di kampus!”. Aku sudah tau maksudnya. Terlebih saat itu aku
bingung pada diriku sendiri apa aku harus berkata “Iya. Atau ...?”
Waktu
pun menujukkan pukul 05.00 wib.
“Jiah,
tepat sekali ini mata kuliah berakhir jam 5.” gumamku dalam hati sambil
memperhatikan jam tanganku. Aku berjalan keluar kelas lalu, ku perhatikan
jalanan sesak ramai akan mereka yang ingin pulang dan sampai rumah lebih dulu “kajian
atau pulang ya?, kajian aja deh sekalian magrib di kampus, lagi pula jalanan
macet banget huh.” Gumamku lagi dalam hati.
“Maafkan
aku bu, Aku pulang telat lagi.” duduk dan mendengarkan seorang ustad berbica
memberikan materi sungguh membuatku terhanyut serta membayangkan sebanyak ini
kan dosa-dosa ku. Sungguh tak akan bisa ku duduk dan mengikuti kajian ini tanpa
ridho dan rahmat dari Allah swt. Entah sejak kapan aku memulai namun seakan
kaki menuntun ku untuk selalu menyempatkan waktu untuk singgah di sini.
Setelah
kajian, kami melalukan Salat Magrib berjamaah lalu, pembacaan tadarus sebentar
mengkaji ilmu fikih wanita dan lain sebagainya. Tak lama jam menujukan waktu
pulang. Kami bersalaman juga berpelukan saling mendoakan keselamatan agar
sampai tujuan. Ya, tujuan kerumah tentunya.
“Fii.
Amanillah ya Ukhti..”
“Iya
ukh, antum juga..”
Begitulah,
kata-kata doa dan perpisahan terakhir kami malam ini. Dengan penuh harap Allah
meridhoi setiap langkah yang ku tuju bukan hanya untuk duniawi tapi aku
berharap untuk di akherat ku nanti. Setidaknya saat kalian tak menemukan ku di
surga aku berharap dapat ditolong oleh kalian teman-teman salehahku.
Aku
bergegas menuju parkiran bersiap untuk pulang, ku lihat mereka semua pun telah
pergi. Kesunyian ini semakin terasasa saat satu-satu meninggalkan kampus, saat
berkumpul seperti kajian tadi aku merasakan kehangatan dan merasa beruntung berada
ditengah-tengah wanita yang baik. Di sana aku mendapat sekali pengalaman,
banyak cerita hijrah dan hanya Allah yang maha mengetahui apa-apa yang telah
kami perbuat.
Di
perjalanan, aku merasakan kantuk yang teramat berat. Sebelumnya aku sudah
memikirkan jarak tempuh dan resiko apa yang akan terjadi kalau aku pulang
terlalu larut malam. Seperti saat ini
tak biasanya aku mengantuk, ku coba untuk menstabilkan kondisi mata, ku
tepikan motor dan mengucek mata ku yang tidak gatal. Tak lama ku lanjutkan
perjalanan karena jarak kampus dan rumah ku tidak bisa dibilang dekat. “Aku
harus kuat!” gumamku dalam hati. “tapi, ini ngantuk banget ya Allah.
Astagfirullah..” sedikit oleng motor ku karena kantuk.
Lalu
tiba-tiba.
DUAAARRR!!!
aku jatuh, beserta motor yang remuk, gelap-gelap yang ku rasa lalu ku coba
berkata “Toooloong” dan semua menjadi gelap. Aku tak sadarkan diri.
TIINNNN..
TIIINNN bunyi kelakson ramai ditengah jalan terpenuhi oleh orang-orang yang
melihat ku terbaring penuh darah saat ini.
“Woi,
tolongin woi!” salah satu warga
“Eh,
siapa tuh siapa?”
“Eh,
dia mahasiswi di kampus Undarsa ternyata”
“Universitas
Darma Sakti pak?”
“Iya,
bu.. duh kasian. Yuk kita bawa ke rumah sakit.”
“Astagfirullah,
ada apa ya itu? Liat ah..” Desi yang saat itu baru pulang kajian pun sedang
menaiki motor melihat ada sebuah keramaian di tengah jalan. Desi pun memilih
untuk melihat awalnya hanya ingin tahu ada apa. Tapi setelah ia melihat jaket
korban ia merasa mengenalinya.
“Ada
apa ya bu?” tanya desi kepada seorang ibu-ibu di jalan.
“Ini
kecelakaan neng. Kasian deh, dia kayaknya anak dari kampus Undarsa.”
“Undarsa?
Jangan-jangan itu Fatimah? Astagfirullah.. iya itu jaketnya.” Desi pun berlari
mendekati fatimah yang terbaring penuh darah.
“Fatimaaahhhhhh...
astagfirullah.. Bapak, tolong bawa temen saya segera kerumah sakit ya. Saya
akan coba hubungi pihak keluarganya.”
“Neng,
temennya?” tanya bapak itu meyakinkan
“Iya
pak saya teman dekatnya.”
“Yaudah,
yuk neng kita bawa kerumah sakit”
“Iya,
pak hati-hati.”
Tak
lupa Desi mencoba menghubungi pihak keluarga Fatimah, yang sebentar lagi menuju
rumah sakit. Desi pun memberi kabar kepada teman-teman kajian di kampus kalau
Fatimah baru saja mengalami kecelakaan dan sekarang sekarat di rumah sakit.
Dilihatnya, dari dalam dokter pun keluar dan menjelaskan keadaan yang
sebenarnya kepada kedua orang tua fatimah.
“Dimana
anak saya dok?” tanya ibu kepada dokter
“Begini
bu.. Benturan yang terjadi dikepala anak ibu sangat keras lalu, ia juga banyak kekurangan
darah dan saat ini kondisinya sedang kritis.”
“Sebenarnya
apa yang terjadi?” tanya bapak kepada desi
“Menurut
pengakuan warga Fatimah ngantuk saat mengendarai motor pak. Itu pun saya lewat
dan mengetahui kalau yang menjadi korban kecelakaan itu Fatimah.”
“Astagfirullah
fatimah..” ibu lemas mendengar penjelasan desi dan memilih untuk duduk menunggu
hasil selanjutnya.
“Dok,
dok.. pasien sepertinya kritis” Kata suster memberi tahu dokter
“Ya,
Allah.. ayo suster..” dokter pun bergegas memastikan
“Kenapa
dok? Dok? Kenapa dengan anak saya?”
“Tunggu
sebentar ya bu..” larang suster untuk masuk kamar
Tak
ada 5 menit suster kembali membuka pintu dan menyuruh kedua orang tua Fatimah
untuk masuk ruangan. Didalam ruangan terlihat setengah sadar Fatimah yang
terbata-bata mengakatakan “Bu..u..u m..ma.. aaf..in.. A..ku ya.., yang
t..idda..aak mm..ee..nnu.rr..u..ti.. ka..t.a.. ibu untuk t..i.dd..aa..k..
p..u.ll.aa..ng.. mmaa...llaa.am... I..kkhhllas... kan kee..per..giii.aanku
yaa.. Bu.. dan Ba..aapaak..”
“Tidak,
nak.. kamu gak perlu minta maaf. Ibu yang salah seharusnya Ibu memberikan
kepercayaan pada mu., Kamu pasti sembuh!!!” kata Ibu meyakinkan
“Asyhadu
Al Lailaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah”
“Innalillahi
wa inaililalahi rajiun..”
-----------------------------------------------------TAMAT-------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar