Ridho
Ibu, Ridho Tuhan Juga.
By:
Endah Dwis
Fabel Anak
Indonesia Adalah negeri yang kaya. Beragam
mahluk hidup ada di dalamnya banyak kita jumpai [m1] di
tanah lembab maupun di jalanan. Salahsatu mahluk hidup yang ada di negeri ini
adalah Semut. Semut adalah sekelompok hewan pekerja setiap harinya mengangkut
makanan dan manisan yang ada disekitaran hutan. Semut[m2]
amat rajin mengais rezeki demi kebutuhan hidup sehari-hari. Semut memiliki ciri
berkulit coklat pekat. Di hutan selain semut binatang[m3]
lain yang tak kalah menariknya adalah Belalang hijau. Belalang Hijau juga
dikenal dengan Walang Kekek. Walang memiliki ciri bertubuh hijau dan memiliki
mata yang lebar yang dapat menlihat target dengan jarak jauh dan masih banyak
lagi binatang lainnya.
Walang dan semut adalah dua kawan
yang berbeda karakter. Semut Anak baik, penurut dan patuh kepada orang tua.
Berbeda jauh dengan si Walang. Ia suka membantah perintah kedua orangtuanya.
Seringkali ibunya memintanya untuk membantu pekerjaan rumah, tapi walang selalu
menolak. Selalu ada saja alasan yang dibuatnya.
Seekor semut kecil bernama BigAnt
dan banyak hewan mengagumi sifat keramahan BigAnt. Walau kecil ia amatlah gesit
dan tidak malas bekerja. Saat di jalan BigAnt bertemu dengan Walang.
Walang terlihat sedang duduk santai
dibawah pohon, melihat BigAnt kesulitan membawa makanan, ia bukannya membantu
malah mentertawai keras BigAnt.
“Hei, BigAnt rajin sekali kau ini
haha...” Tawa Walang keras, sehingga membuat langkah kaki BigAnt berhenti.
“Oh, Iya.. aku harus membawa ini
untuk persediaan makanan di rumah nanti”
“Kasihan sekali kau ini! sudah
kecil mencari makan sendiri. Memang, kemana orang tua mu? Lihat aku.. santai menikmati semilir angin”
“Hm.. tapi maaf aku gak bisa
bersantai seperti kau, Walang.”
“Iyalah.. Kau inikah miskin dan harus
bekerja keras sekali untuk mencari makan, ngomong-ngomong apa itu yang kau
bawa?”
“Oh ini sari madu, Walang.. maaf
aku tak bisa lama-lama dan harus segera membawa ini ke rumah”
“Baik, pergilah” Tangan Walang
melambai-lambai malas, Walang tak sadar bahwa perkataannya telah menyakiti hati
BigAnt. Sesampai di rumah BigAnt pun lebih memilih untuk diam dan menyimpan
ceritanya rapat-rapat sekan tak terjadi apa-apa.
Berbeda dengan keluarga Walang yang
kehidupannya jauh serba berkecukupan. Ditambah Belalang adalah makhluk yang
ditakuti oleh para binatang kecil seperti Semut. Walang Kekek ialah belalang
yang dikenal memiliki sifat nakal bahkan terhadap sesamanya si Walang kekek ini
tidak mau kalah, ingin menang sendiri juga ego serta sombong.
Kehidupan berkucupan membuat Walang
Kekek ini menjadi lupa diri, Ibu dan Bapak Walang sudah sering mengingatkan
tapi tetap tak digubris oleh sang anak. Bukan hanya sesama teman walang juga
terkadang melawan kedua orang tuanya, membentak bahkan membengkang. Tak jarang
ibu menangis karena malu memiliki anak seperti Walang. Barulah walang sadar
bahwa perlakuannya kelewatan tapi setelah sadar walang pun berbuat itu kembali.
Suatu ketika Wangsit, Wangsit
adalah Ibu Walang ia sedang kesulitan membawa air dari sungai untuk diangkut
menggunakan ember. Sang ibu mencoba memanggil Walang untuk sekadar membantu.
Tapi kenyataannya Walang malah asyik bermain Taplak Batu bersama Belalang lain.
“Walang, bisa bantu Ibu sebentar?”
Walang yang sedang asyik bermain pura-pura tak mendengar seruan sang ibu. Lalu
ibunya memanggilnya sekali lagi, bahkan dua kali, sampai yang ketiga kalinya.
Sang walang ettap pura-pura tidak mendengar. Sampai akhirnya Kumbang, teman
walang berkata padanya.
“Lang, dipanggil sama Ibu kamu
tuh..”
“Ah! Biarin aja.. paling juga suruh
angkat air, males aku”
“Walang, gak boleh gitu! itukan Ibu
kamu wajar dia minta tolong kamu”
“Eh! Kamu ini gak usah sok
nyeramahin aku! Iya, aku tau dia Ibuku, emang kamu pikir? Ku anggap dia apa?!
Udah, akhiri saja permaianan ini, males aku sama kamu!”
“Loh.. yaudah”
Walang merasa kesal terhadap ibunya
yang telah mengganggu kesenangannya bermain bersama temannya. Dan membuat
keduanya harus adu mulut untuk mengehentikan permainan yang sedari awal
baik-baik saja. Walang menuju suara sang Ibu dengan raut muka tidak ramah.
Walang terlihat sangat kesal dan dipikirannya saat ini adalah semua salah Ibu.
“Duh nak..., kamu ibu
panggil-panggil dari tadi”
“Iya, ada apa sih Bu?! Menggangu
saja bisanya! Ibu gak tau aku lagi asyik main sama temen tadi?!”
“Ibu cuma minta tolong angkatin air
ini Walang.. Maaf ibu gak tau kalau kamu sedang bermain. Sekarang bisa bantu
ibu kan?”
“Ah, gak mau. Ibu bawa ajalah
sendiri kan masih bisa!”
“Walang... tapii...” Wangsit mengusap
air mata yang tak sengaja jatuh. Bening air mata itu. Bening sema seperti kasih
ibu ke Walang tapi kini apa yang terjadi? Perlakuan Walang sudah keterlaluan
tapi, ibu walang masih sabar menghadapi sikap anak semata wayangnya itu. Ia tak
ingin sumpah serapah keluar dari mulutnya.
Wangsit dan Wangso sedang makan
berdua di ruang tamu, mereka adalah Ibu dan Bapak Walang. Mereka makan
menggunakan bahan yang didapat Wangso selama di hutan. Wangsit selalu bersyukur
atas apa yang telah Wangso berikan untuk keluarga. Tak lama kemudian datanglah
Walang sambil mengusap-usap perutnya
yang lapar.
“Bu.. masak apa?”
“Hanya sayur daun yang biasa kita
makan nak..”
“Sayur aja? Gak ada jagung? Gak ada
sari madu bunga?”
“Gak ada nak.. sudahlah makan
seadanya, Bapak hanya dapat itu” Saut Wangso menasehati, namun Walang tidak
peduli dan tidak mau memakan-makanan seperti itu. Dipikirnya itu makanan yang
membosankan, sekali-kali ia ingin merasakan daging.
“Kamu sekarang mulai membantah kami
nak! Apa mau kamu sebenarnya?!” Tanya Wangsit geram.
“Aku hanya ingin makan selain
dedaunan! Aku bosan Bu, setiap hari makannya sayur, aku tidak suka masakan ibu
tiap hari begitu saja. Aku bosan!” Bentak Walang kepada sang ibu.
Walang melihat jelas air mata
ibunya mengalir deras. Sang ibu sudah tak tahan lagi dengan tingkah walang
seraya mengucapkan. “Kalau begitu, kau carilah makan sendiri! pergi sana dari
rumah ini! Ibu tak sudi punya anak yang tak bersyukur sepertimu!!”
Walang kaget bukan kepalang,
bukannya takut dan sedih Walang malah menantang sang ibu. Dengan dada
membusung. “Baik, aku akan pergi dari rumah ini, aku ingin hidup bebas dan
memakan apapun yang aku mau diluar sana!”.
Walang
pergi tanpa pamit, dalam keadaan amat tersulut emosi dan percaya bahwa ia bisa
hidup tanpa kedua orang tuanya.
Lima tahun pun sudah kejadian itu berlalu.
Disuatu desa terlihat seekor binatang berjalan dengan tertatih menahan sakit, ia
adalah Walang. Walang hidup berpindah tempat. Terkadang untuk makan saja Walang
harus memilahnya terlebih dahulu. Pernah suatu hari Walang kercunan daun yang
ia makan. Akibat ketidaktahuannya pada tumbuhan beracun. Alhasil ia
muntah-muntah dan merasakan sakit perut luar biasa.
Cuaca di hutan memang tidak bisa diprediksi,
membuat Walang mau tidak mau berlalu lalang dari satu tempat ketempat lain. Dan
saat ini terlihat langit teramat mendung.
Walang mencoba untuk meminta
bantuan pada binatang yang lewat, tapi apa balasan mereka? Mereka para
binantang melihat Walang bukan merasa iba malah merasa jijik. Karena Walang
memiliki luka di kakinya dan kini tengah membusuk.
“Pak, tolongin saya pak... Izinkan
saya untuk tinggal di rumah bapak”
“Ih.. saya gak sudi, kau ini siapa?
Lihatlah! itu kakimu memiliki luka menjijikan.”
Lebih dari satu atau dua binatang
yang lewat Walang mengiba dan meminta tolong tapi, hasilnya nihil kini Walang
harus menahan sakit serta pedih. Walang baru menyadari bahwa kesalahannya dulu
berimbas kepada kehidupannya kali ini, sering melawan kedua orangtuanya dan membentak-bentak
Ibunya. Kini walang bagai menerima hasil dari apa yang telah ia perbuat.
Kedurhakaannya pada sang Ibu
membuat hidup Walang semakin menyedihkan. Jauh dari lubuk hati Walang ia amat
menyesal, tapi ia tau kembali kerumah saat ini bukanlah hal yang tepat. Apalagi
sang ibu kini membencinya.
“Ibu.. aku ingin pulang.. maafkan
aku Ibu..” Suara Walang beradu dengan gemercik air hujan melebur dan menjadi
satu tumpah bersama kesedihan. “Ibu, Walang ini anak yang amat sangat durhaka, Walang sadar
tanpa Ibu dan Bapak Walang tak bisa apa-apa. Ibu.. Maafkan kesalahan Walang.”
Namun Tuhan telah murka kepada makhluknya
yang menentang dan menyakiti hati kedua orangtuanya, terutama kepada ibu.
Gelegar petir membuat tubuh renta Walang semakin mengenaskan. Ia berbaring di pojok
dedaunan rindang. Menahan sakit yang tak tertahankan. Tanpa teman, tanpa
seorang pun menemani Walang.
Tanpa diduga Petir menyambar pohon
tinggi dan membuat aliran listrik itu menyebar dan mengenai tubuh Walang. Ia
tersambar petir, dan mati seketika. Mati bersama dengan hamparan sesal dan
ketidak ridho-an sang ibu. Ia mati sia-sia. Penuh penyesalan dan penuh dosa.
Semoga kita dapat mengambil hikmah
dari cerita diatas dan jadilah anak yang berbakti kepada kedua orangtua. Maka
hidup pun akan terasa mudah apa yang menjadi cita-cita kita Insyallah
dikabulkan karena Ridha Allah adalah Ridha kedua orangtua terutama Ridho Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar